Sabtu, 12 November 2011

SONTOLOYO


Islam Sontoloyo! Itulah predikat yang diberikan Soekarno tahun 1940 terhadap orang Islam yang jumud, bodoh, dan memperalat paham agama (fiqh) untuk menghalalkan sesuatu yang buruk. Sontoloyo, adalah kata makian untuk perilaku yang konyol, bodoh, dan tidak beres. Perilaku jahil murakab. Bodoh sebodoh-bodohnya.

Memalukan tiada bandingannya. Andaikan presiden pertama Indonesia itu masih hidup dan menyaksikan negeri yang ikut dibidaninya saat ini coreng-moreng tiada tara, mungkinkah dia akan menjuliki Indonesia Negeri Sontoloyo? Boleh jadi begitu. Secara imajiner penulis ingin mengatakan kepada Bung Karno, inilah Indonesia Sontoloyo. Negeri yang terjerumus ke dalam kebodohan yang memalukan.

Negeri yang setiap warganya kini merasa malu kalau melancong ke luar negeri, meskipun di dalam negeri semakin banyak politisi dan petinggi negeri tak punya rasa malu. Negeri yang penuh dengan perilaku-perilaku konyol dan tidak waras. Negeri yang serba apa pun boleh. Apa pun terjadi.

Dalam perjalanan kami naik kereta api dari Berlin ke Frankfurt sambil menikmati keindahan alam yang bersalju putih, mas Imam Prasodjo sempat berbagi pengalaman. Sosiolog UI itu benar-benar merasa gembira ke luar negeri hanya ketika berkunjung ke Kamboja. Selebihnya penuh kesedihan. Kenapa? Hanya dengan Kamboja lah Indonesia saat ini masih bisa disetarakan. Dengan negeri-negeri jiran seperti Vietnam saja kita sudah ketinggalan.

Apalagi dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura. Lebih tak sebanding lagi dengan negara-negara maju, jauh panggang dari api. Sebuah sinisme yang tak enak. Tentang Indonesia yang kalah dan tertinggal. Kegundahan bukanlah penghinaan atas negeri sendiri. Merasa diri malu di hadapan bangsa-bangsa lain bukanlah kehilangn rasa nasionalisme. Lebih-lebih untuk nasionalisme naif, "baik buruk negeri saya".

Kegundahan dan luapan rasa malu adalah pertanda dari ketidak-habis-mengertian kita yang mencintai Indonesia atas berbabagai kekonyolan di negeri ini. Sebuah ledakan protes batin dan pemberontakan pikiran kritis atas Indonesia yang sontoloyo! Cobalah daftar sederet perilaku sontoloyo di Republik ini. Penyelenggaraan haji yang demikian penting dan menyerap dana umat sangat besar, ternyata masih diwarnai salah urus, musibah, dan tragedi.

Celakanya untuk semua kekonyolan itu kita katakan sabar, maaf, dan takdir. Agama dan institusi keagamaan dijadikan tameng atas kesemerawutan, kekeliruan, kesalahan, dan hal-hal naif. Tuhan dan agama dipakai alat legitimasi ketakberesan. Dan seperti sebuah dongeng, akhirnya semua berlalu begitu saja. Tak ada akuntbilitas publik. Tak ada solusi. Tak ada perubahan. Anjing menggonggong, kapila tetap berlalu. Dunia politik tak kalah sontoloyo.

Serba konyol dan menyebalkan. Para anggota DPRD malah sibuk urus pesangon besar-besaran, selain saling berebut nomor urut caleg. Mudah-mudahan DPR Pusat tak ikut-ikutan bikin pesangon. Padahal di depan mata sangat telanjang bagaimana rakyat menjerit sulit cari pekerjaan, terkena PHK, dan mencari sesuap nasi. Repotnya untuk kekonyolan seperti itu ada logikanya. Bahwa pesangon itu sangat wajar atas tugas-tugas berat selaku wakil rakyat.

Padahal mereka banyak yang terserang penyakit gampang tidur di kala sidang. Bahkan sering bolos dan ngelencer ke luar negeri. Sungguh logika bela diri yang konyol. Logika rakus dan mungpung kuasa. Mungkin daripada dilarang tetapi akhirnya terus bebal, suruh saja para "wakil rakyat" itu untuk menambah penghasilan sebanyak-banyaknya. Bawa kursinya sekalian ke rumah. Watak pemulung memang sulit disembuhkan.

Lebih-lebih untuk penyakit ajimungpung dan penjarah. Biarkan saja sampai mereka kembung. Soal politisi dan pejabat busuk? Ah mana ada makhluk sejenis itu di Republik ini. Kalaulah ada, tentu sudah diseret dan divonis pengadilan. Nyatanya bebas dan tak bersalah kok. Pelanggar HAM, merasa tak melanggar karena menjalankan tugas negara. Koruptor juga sama, "saya kan tidak bersalah" begitulah logikanya. Perusak lingkungan apalagi, itu jenis kebusukan yang sulit terjerat, wong cuma alam saja yang jadi korban.

Sedangkan yang terlibat kebusukan lain, lebih sumir lagi. Semuanya kebal dan bebal hukum. Tak seperti maling ayam. Lagi pula para politisi dan pejabat bermasalah itu pendukung dan gizinya luar biasa. Mana mungkin terjerat. Apalagi terjerat oleh anak-anak ingusan yang kini mengusung gerakan antipolitisi dan pejabat bermasalah. Jangan-jangan gerakan mulia seperti itu seperti menyabet angin.

Para elite jagoan itu mungkin akan bilang, Kingkong lu lawan. Kalau Kingkong beneran masih bisa ditaklukkan dengan senjata pembius. Tapi Kingkong berdasi, sangat piawai dengan seribu satu muslihat. Bagaimana dengan rakyat kecil? Kita tahu mereka hidup serba susah dan terus kalah. Dari berbagai survei konon wong cilik itu pun sudah muak dengan politik dan partai politik. Sebal dengan pejabat dan tak percaya lagi pemerintah.

Tapi, sikap politik dan batin rakyat kebanyakan itu pun rasanya sulit dimengerti. Kalau Pemilu datang pada waktunya, mereka kembali memilih partai dan elite-elite yang selama ini mereka pilih dan kemudian mengecewakan. Mereka kembali ke habitat masing-masing. Tak jera-jera. Memori sejarah mereka juga sangat buruk, mudah lupa masa silam yang kelam. Mereka bahkan ingin kembali ke romantisme Orla dan Orba, karena tak sabar menapaki reformasi. Tak mau belajar kritis dan mencoba hidup baru. Itulah mental kerbau pulang kandang.

Semua kembali ke kubangan. Sontoloyo juga. Kenapa negeri dan bangsa ini jadi sontoloyo? Konyol dan semerawut. Mungkin karena sejak awal ada kesalahan-kesalahan fatal dalam cara mengurus negara di Republik ini. Rezim Orla terjebak pada otoritarianisme dan uthopianisme dalam membngun negeri ini, sampai menghasilkan tragedi 1965 dan kebangkrutan ekonomi. Andai waktu itu Soekarno berbagi kuasa sepuluh tahunan dengan Mohammad Hatta, mungkin cerita negeri ini akan lain.

Hatta tahu bagaimana cara mengurus negara dengan tepat. Sayang dia tak berkesempatn. Rakyat Indonesia rupanya lebih gemar pemimpin kharismatik di langit tinggi. Bukan pemimpin nyata di bumi. Rezim Orba Soeharto juga konyol. Banyak salah urus. Memang berhasil membangun fisik dan ekonomi, tetapi fundamntalnya hancur.

Membangun sambil meninggalkan jejak kerusakan. Sedangkan tiga kali pemerintahan transisi di era reformasi, sama-sama tak teruji. Penyakitnya sama, tak tahu cara mengurus negara dengan standar. Habibie hanya sebentar, dia membawa beban Orba dan cendrung elitis sehingga tak begitu tahu membangun yang berbasis daulat dan potensi rakyat.

Abdurrahman Wahid bagus gagasan-gagasan populisnya, tapi juga tak tahu cara mengelola pemerintahan dengan benar. Padahal mengurus negara sama sekali berbeda dengan mengelola pesantren. Sedangkan rezim yang sekarang, juga tak mengurus negara dengan serius. Tanpa direksi dan nakhoda, mau dibawa ke mana negeri ini? Jadilah bangunan pemerintahan yang sontoloyo. Negara tak diatur sebagaimana mestinya. Rakyat tak diurus sebagaimana layaknya.

Ada memang yang diurus dengan tekun, yakni penjualan aset dan sibuk memenangkan pertarungan 2004. Itulah kesontoloyoan struktural negeri Indonsia. Kini hanya tinggal satu pertanyaan, apakah Pemilu 2004 itu pun pada akhirnya hanya akan melahirkan pemerintahan yang masih sontoloyo? Wallahu 'alam. Entah harus berpulang kepada siapa. Para elite dan kekuatan-kekuatan non-sontoloyo nyaris tak pernah bersinergi.

Tak mau bersatu. Masing-masing mengusung dan terlalu percaya dengan kekuatan sendiri. Lebih-lebih kalau telah terjangkiti penyakit SMS, polling, dan survei yang menggembirakan hati. Kamilah yang akan menang, begitulah over-cinfidence mereka. Semua merasa kuat, untuk akhirnya tergelincir dan kemudian baru sadar kalau pemenang putaran puncak adalah rezim sontoloyo. Nasi lalu menjadi bubur dan kemudian busuk. Jika itu terjadi, semua memang konyol. Jadi sontoloyo! (RioL)

0 komentar:

Posting Komentar